Beranda | Artikel
Tetesan Faidah dari Kitab Riyadhus Shalihin [1]
Kamis, 3 November 2016

Bismillah, wa bihi nasta’iinu.                             

Alhamdulillah, segala puji dan syukur tak akan pernah habis kita haturkan kepada Rabb kita ‘azza wa jalla yang telah mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tidak diketahuinya. Salawat beriring salam semoga terlimpah kepada penutup para nabi dan rasul, beserta para sahabatnya dan pengikut-pengikut setia mereka. Amma ba’du.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, belajar ilmu agama merupakan tugas setiap insan di muka bumi ini. Sebab dengan mengerti ilmu agama, seorang hamba akan mengenal bagaimanakah penghambaan yang benar kepada Rabbnya. Kita semuanya -tanpa kecuali- telah mendapatkan perintah yang sangat agung dari Allah ta’ala. Sebagaimana dalam ayat (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian; Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21)

Perintah beribadah kepada Allah yang ditujukan kepada segenap manusia ini tidak akan bisa terwujud kecuali apabila kita memahami dengan benar makna dan hakikat penghambaan dan ibadah kepada-Nya. Sebab betapa banyak orang yang mengira dirinya telah melakukan amal kebaikan dan menumpuk prestasi namun ternyata di akhirat amalnya sirna dan sia-sia belaka.

Hal semacam ini telah digambarkan di dalam al-Qur’an dalam ayat (yang artinya), “Katakanlah; Maukah kami kabarkan kepada kalian mengenai orang-orang yang paling merugi amalnya; yaitu orang-orang yang sia-sia usahanya di dalam kehidupan dunia sementara mereka mengira telah berbuat yang sebaik-baiknya.” (al-Kahfi : 103-104)

Sungguh kejadian yang sangat menyedihkan dan memilukan! Ketika seorang merasa dirinya telah berbuat baik namun ternyata apa yang dia sangka bertolak-belakang dengan kenyataannya. Dia melakukan kerusakan dan penyimpangan dalam keadaan mengira dirinya tegak di atas kebenaran, dan dia mengira bahwa di akhirat kelak dia akan mendapat kemuliaan… Seperti dikatakan oleh sebagian ulama, “Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan tetapi tidak mendapatkannya.” Betapa malangnya mereka itu…

Dari sinilah, kita memahami betapa pentingnya ilmu bagi seorang insan. Karena dengan ilmu itulah dia akan bisa mewujudkan makna-makna penghambaan dan nilai-nilai keimanan. Dengan ilmu itu pula ia akan mengenali jalan yang akan mengantarkan ke surga dan ke neraka. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dalam hal agama.” (HR. Bukkhari dan Muslim)

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, diantara karya para ulama yang sangat populer di tengah kita adalah kitab karya Imam an-Nawawi rahimahullah (wafat tahun 676 H) yang berjudul ‘Riyadhus Shalihin’. Kata ‘riyadh’ adalah bentuk jamak dari kata ‘raudhah’ yang berarti ‘taman’, sedangkan ‘shalihin’ jamak dari ‘shalih’ artinya ‘orang yang baik’. Sehingga judul kitab ini seolah ingin menggambarkan kepada kita bagaimanakah sifat-sifat yang semestinya dimiliki oleh orang-orang beriman agar termasuk hamba-hamba yang salih secara hakiki.

Tentunya setiap muslim butuh kepada pengetahuan semacam ini. Sebab banyak diantara kita yang belum mengerti apakah hakikat keimanan dan kesalihan itu. Banyak orang yang notabene muslim dan hidup di negara dengan penduduk mayoritas muslim namun ternyata dalam hal dasar-dasar agamanya sangat tidak paham. Maka, kitab Riyadhus Shalihin ini merupakan salah satu menu lezat bagi para pecinta ilmu agama. Untaian ayat dan kumpulan nasihat dan bimbingan dari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu dominan di dalam buku yang satu ini. Hal ini tentu akan semakin memperkuat keimanan dan -dengan izin Allah- menjaga hati kita dari penyimpangan.

Di dalam mukadimahnya, Imam an-Nawawi rahimahullah kembali mengingatkan kita akan tujuan dan hikmah penciptaan kita di alam dunia ini. Hal itu telah tertuang dengan apik dalam firman Allah (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Sebagaimana dikatakan oleh beliau, bahwa ayat tersebut memberikan keterangan yang sangat tegas dan gamblang bahwasanya jin dan manusia diciptakan oleh Allah dalam rangka beribadah kepada-Nya. Oleh sebab itu sudah sewajarnya mereka memberikan perhatian besar dan serius kepadanya…

Ayat yang dibawakan oleh Imam an-Nawawi dalam mukadimahnya ini memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi setiap manusia. Bahwa hidup di alam dunia ini bukanlah untuk sebuah kesia-siaan. Bukan untuk menghabiskan waktu dalam hal-hal yang tidak berguna atau malah berbuat nista dan tercela. Ada hikmah yang sangat agung dan bermakna di balik itu semua.

Seperti dikatakan oleh Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dalam risalah Tsalatsatul Ushul (tiga landasan utama), dimana beliau mengatakan : Bahwasanya Allah telah menciptakan kita dan memberikan rezeki kepada kita. Dan Allah tidak tinggalkan kita dalam keadaan sia-sia. Bahkan Allah telah mengutus kepada kita seorang rasul, barangsiapa taat kepadanya akan masuk surga, dan barangsiapa durhaka kepadanya akan masuk neraka. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kalian seorang rasul sebagai saksi atas kalian sebagaimana Kami telah mengutus kepada Fir’aun seorang rasul pula, maka Fir’aun durhaka kepada rasul itu sehingga Kami pun menyiksanya dengan siksaan yang sangat berat.” (al-Muzammil : 15-16) (lihat al-Ushul ats-Tsalatsah)

Ayat yang mulia itu memberikan faidah bagi kita bahwasanya hakikat ibadah kepada Allah itu akan bisa terwujud dengan mengikuti dan tunduk kepada ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena orang yang durhaka kepada rasul sesungguhnya telah durhaka kepada Dzat yang mengutus rasul itu yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa taat kepada rasul itu sesungguhnya dia telah taat kepada Allah.” (an-Nisaa’ : 80)

Ini artinya jalan menuju surga adalah dengan mengikuti ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana telah dijelaskan di dalam ayat (yang artinya), “Katakanlah -wahai Muhammad, kepada mereka-; Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku! Niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali ‘Imran : 31)

Dengan demikian menjadi sangat penting bagi setiap muslim untuk mengenali dan mempelajari hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits adalah apa-apa yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa ucapan, perbuatan maupun persetujuan. Hadits merupakan penjelas bagi ayat-ayat al-Qur’an dan pemberi keterangan tambahan atasnya. Oleh sebab itu wajib mengikuti hadits sebagaimana wajib mengikuti al-Qur’an. Allah berfirman (yang artinya), “Dan dia -Muhammad- itu tidaklah berbicara dari hawa nafsunya. Tidaklah hal itu -ucapan beliau- melainkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (an-Najm : 3-4)

Melalui kitab ‘Riyadhus Shalihin’ ini akan kita jumpai sekian banyak tuntunan dan kaidah untuk menjalani kehidupan. Semuanya dilandaskan kepada ayat dan hadits. Demikianlah semestinya seorang muslim untuk membekali dirinya dengan ilmu tentang Sunnah/ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dia tidak tenggelam dalam lautan fitnah atau terombang-ambing oleh badai hawa nafsu dan hanyut dalam kesesatan dan penyimpangan, wal ‘iyadzu billah


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/tetesan-faidah-dari-kitab-riyadhus-shalihin-1/